Oleh: Nazwa Fauzya
SOROT JABAR – Persoalan terkait pemberitaan pengungsi Rohingya dan mandat UNHCR yang tersebar luas di media sosial menimbulkan adanya konflik dua kubu: pro dan kontra pada masyarakat Indonesia.
Diketahui etnis Rohingya mengalami persekusi, penindasan institusional, sekaligus korban dari pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh militer Myanmar. Etnis Rohingya memilih Bangladesh sebagai negara utama tempat pengungsiannya, kemudian sisanya mengungsi ke negara ASEAN lainnya seperti, Thailand, Malaysia dan Indonesia.
Indonesia sendiri menerima pengungsi Rohingya dengan baik tepatnya di Aceh hingga saat ini. Pengungsi Rohingya sudah mendatangi Indonesia sejak beberapa tahun lalu dan Indonesia sudah menjalankan mandatnya sebagai negara yang meratifikasi hampir semua konvensi HAM Internasional dengan memperlakukan pengungsi dengan layak.
Terhitung dari Direktorat Jenderal (Ditjen) sendiri yang mencatat data imigrasi, dengan total jumlah pengungsi dan pencari suaka di Indonesia berjumlah 11.995 orang. Pengungsi di Indonesia terbanyak berasal dari Afghanistan (55%), Somalia (10%), Myanmar (6%) dan sisanya berasal dari negara lain.
Pada kasus ini, akar masalah awal timbul dikarenakan adanya tindakan tidak pantas yang dilakukan beberapa oknum imigran yang membuat warga lokal geram, hal tersebut diketahui langsung dari cuitan keresahan warga di Aceh beberapa waktu lalu, hingga menyulut amarah para pengguna media sosial di seluruh Indonesia.
Masalah lain yang kini dikhawatirkan oleh para negara penampung imigran Rohingya adalah mengenai rentang waktu transit yang terlalu lama dengan rentang waktu hampir sekitar 5-10 tahun, hal tersebut dikhawatirkan akan terjadi penumpukkan pengungsi, terlebih lagi dapat mengakibatkan terganggunya kestabilan kawasan dan kenyamanan warga lokal di beberapa negara ASEAN (Thailand, Malaysia, Indonesia) yang dijadikan target negara paling banyak bagi para pengungsi untuk datang, hal tersebut akan menimbulkan masalah sosial lain dan kecemburuan masyarakat lokal apabila tidak ditindaklanjuti secara langsung.
Negara penerima pengungsi menghadapi isu penanganan langsung terhadap tidak kondusifnya masyarakat lokal yang terus mendesak kebijakan pemerintah pada pengungsi yang tidak patuh terhadap peraturan negara.
Adanya polemik tersebut menyebabkan timbulnya berita-berita yang muncul tanpa didasari fakta yang akurat, sehingga beberapa pihak penanggungjawab pengungsi seperti UNHCR dan IOM ikut turut menegaskan perihal isu yang sedang terjadi melalui beberapa akun resminya, dan mengonfirmasi beberapa akun terkait penyebar berita palsu sehingga timbulnya opini negatif publik pada etnis Rohingya.
Faktanya United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) merupakan organisasi internasional yang diberikan mandat untuk memberikan sebuah perlindungan, bantuan sosial hingga solusi jangka panjang, dengan harapan dapat memberikan kesempatan bagi para pengungsi untuk mendapatkan kehidupan yang layak selama berada di pengungsian, hal tersebut dipertimbangkan melalui berbagai situasi yang terjadi pada setiap individu atau suatu keluarga sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing pengungsi.
Pada 2016 lalu, Presiden Republik Indonesia menandatangani Peraturan Presiden Tentang Penangangan Pengungsi dari Luar Negeri, ini menerangkan jika Peraturan Presiden tersebut mengatur perihal penampungan serta perlindungan bagi para suaka dan pengungsi. Peraturan Presiden ini sekaligus menjadi bukti bentuk kerja sama antara pemerintahan Indonesia dengan UNHCR. Meski begitu, Indonesia bukan bagian dari negara penandatangan Konvensi Pengungsi tahun 1951 lalu, hal tersebut menimbulkan keterbatasan kapabilitas UNHCR terhadap kebijakannya karena UNHCR tidak berhak menuntut hak pengungsi sebagaimana disebutkan pada Pasal 1 Konvensi 1951 tentang Pengungsi yang dapat berlaku bagi beberapa negara penandatangan Konvensi 1951.
Dengan demikian, para pengungsi yang datang ke Indonesia hanya melakukan transit sementara dan selebihnya tetap menjadi tanggungjawab penuh organisasi internasional baik UNHCR ataupun IOM (International Organization for Migration) sebelum ditempatkan di negara ketiga
Kemudian perihal pendanaan yang diberikan kepada para pengungsi dijelaskan dengan tegas oleh UNHCR jika pihaknya tidak memperoleh keuntungan finansial, semua bantuan atau layanan yang diberikan pada pengungsi sepenuhnya bebas biaya, dan UNHCR sendiri yang mendanai seluruh kegiatannya dari berbagai donasi dan kontribusi dari negara-negara anggota PBB dan beberapa sektor swasta, yang diawasi secara ketat oleh auditor pihak ketiga. Hal tersebut sekaligus membantah pemberitaan tidak benar mengenai UNHCR yang mendapatkan dana dari pemerintah pusat atau daerah di Indonesia.
Fakta yang tercantum diatas membuktikan jika banyaknya informasi yang tersebar terkait kebijakan UNHCR terhadap para pengungsi, termasuk pengungsi Rohingya merupakan disinformasi, sehingga menimbulkan framing negatif terhadap etnis Rohingya dengan menggiring opini publik tanpa dilakukannya verifikasi dan validasi data terkait kebenaran beritanya terlebih dahulu.
Adapun solusi yang ditawarkan pada masalah yang timbul adalah diperlukannya pendekatan yang dilakukan beberapa negara di ASEAN dengan Myanmar atau mendesak perubahan rentang waktu transit yang belum pasti, kemudian memastikan adanya persetujuan dan penerimaan dari negara ketiga untuk menerima para pengungsi agar mendapatkan hak kewarganegaraannya di negara ketiga.
(Red)