Oleh : Aris Sabthazi, S.Sos
Guru Sosiologi SMA Negeri 1 Jamblang Kabupaten Cirebon
SOROT JABAR – Peristiwa bullying di kalangan pelajar tidak perah habis dari pemberitaan. Berita yang tidak selayaknya menimpa para pelajar, yang mereka belajar akan moral dan etika, namun kenyataannya moral dan etika di lingkungan pendidikan masih banyak yang harus benahi. Berita terkini, di awal bulan Nopember 2023 seorang siswa kelas 6 sekolah dasar, inisial F (12), di daerah Bekasi mengalami bully oleh teman-temannya hingga berujung kakinya harus diamputasi. Di bulan Agustus 2023 siswi kelas 2 SD berinisial SAH di Menganti, Gresik, Jawa Timur, harus merelakan bola mata sebelah kanannya tidak dapat melihat permanen disebabkan ditusuk oleh kayu bakso oleh kakak kelasnya disebabkan enggan memberikan uang kepadanya, dan kasus-kasus di daerah lain, seperti di Rembang, di Batam, kasus SDN Jakarta selatan, kasus pelajar SMP di Cilacap, juga kasus kekerasan MTs di Balikpapan, masih banyak lagi yang tidak diberitakan.
Begitu banyaknya kasus kekerasan pada anak, hingga pengamat anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Aries Adi Leksono mencermati, terdapat ratusan kasus terkait kekerasan terhadap anak yang masuk ke KPAI, pada Januari sampai dengan Agustus tahun 2023, sebanyak 87 kasus terkait korban perundungan, 236 kasus terkait korban kekerasan fisik dan 487 kasus terkait korban kekerasan seksual. Kecenderungan angkanya setiap bulan akan naik menilai perilaku pelajar dalam perilaku bullying (dalam harian Pikiran Rakyat, 2023:6).
Setali tiga uang, data raport pendidikan yang baru dirilis Kemdikbudristek di Bulan September 2023 pun memunculkan hasil yang mengkhawatirkan, bahwa indikator iklim keamanan sekolah menurun. Penurunan tiga poin untuk jenjang SMP yang semula 68,25 sekarang 65,29. Lalu penurunan drastis lima poin jenjang SMAN, semula 71,96 saat ini 66,87. Hal itu menunjukan begitu merata, meluas dan meningkatnya aksi tindak kekerasan di kalangan pelajar. Mengapa tindakan bullying ini perlu mendapat perhatian serius? karena dampak yang dirasakan tidaklah ringan atau sepele, ini berpengaruh buruk bagi diri korban dan juga pelaku.
Dampak negatif bullying yang dirasakan bagi korban adalah rasa minder atau rendah diri. Sikap ini adalah rasa kurang percaya diri, yang membuatnya selalu merasa kurang atau tidak berharga dibandingkan oleh orang lain. Mental yang belum siap menerima sindiran, celaan, hardikan hingga pada kekerasan fisik akan membuatnya jiwanya kerdil, kepercayaan diri yang terkikis. Apabila hal ini tidak segera diatasi akan muncul depresi hingga pasrahnya akan mengharapkan kematian. Ini dapat ‘membunuh’ masa depan seseorang. Dampak negatif lainnya adalah perilaku ini akan berefek domino, yaitu adanya pelampiasan dendam berkelanjutan bagi si korban kepada orang lain atau orang yang secara status lebih rendah darinya. Demikian pula bagi pelaku bullying bila tidak disadarkan akan menambah korban dan dapat ‘menularkan’ perilaku buruknya kepada orang lain.
Bullying ini akan menjadi sebuah contoh perilaku yang terus-menerus selalu ada, bahkan menjadi ‘budaya negatif’ yang hendaknya tidak terjadi. Sehingga kita hendaknya harus dapat memutus rantai kebiasaan negatif ini sesegera mungkin, menghilangkan dan mengganti budaya kekerasan ini menjadi budaya saling menghormati, menghargai dan menyayangi. Tugas besar nan berat ini hendaknya melibatkan seluruh pihak yang dekat dengan siswa, yaitu sekolah, Orang tua, dan masyarakat ini yang dikenal dengan Tri pusat pendidikan.
Diawali dengan mengevaluasi. Bagaimana peran sekolah terhadap pembentukan perilaku sekolah kepada peserta didik, apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang harapkan?. Bila kita melihat tujuan pendidikan nasional kita sangatlah mulia, yaitu memiliki fungsi mengembangkan, kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan memiliki budi pekerti yang luhur. Sebuah tujuan yang memberikan keseimbangan terhadap moral, akhlak yang mulia bagi peserta didik. Dengan ujung tombaknya adalah guru, guru memiliki harus mampu mendidik, membimbing, mengajar, mengarahkan, menilai, melatih dan mengevaluasi peserta didik. Maka jelas dari melihat tujuan dan tupoksi itu tidak ada seorang gurupun yang dalam hatinya berikrar menjadi guru yang abai dari sisi moral, akhlak mulia. Namun bila sisi moral ini dilanggar maka sangsi sosialnya pun berat terlebih sangksi dapat menjeratnya. Oleh karenanya pembinaan para guru kepada siswa akan pembentukan akhlak mulia sudahlah menjadi bagian dari perilakunya, terlebih lagi pemerintah senantiasa menekankan program-programnya ke satuan pendidikan mengenai pentingnya akhlak mulia, seperti program Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).
Program lainnya dibentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Tugasnya adalah mencegah, mengatasi, dan menangani berbagai bentuk kekerasan di lingkungan sekolah. Tindakan pencegahan adalah dengan membuat program sekolah mendidik perilaku yang baik bagi siswa, mengadakan seminar anti kekerasan, melakukan pengembangan kebijakan sekolah yang mengutamakan keselamatan siswa, selain itu juga mengajak siswa melalui kampanye agar siswa lebih peka terhadap masalah kekerasan dan bagaimana mereka dapat melaporkannya. Jika terjadi tindak kekerasan mekanisme yang dapat dilakukan tim menyelidiki insiden tersebut, tim memberikan dukungan terhadap korban, baik dalam bentuk konseling, bantuan hukum dan mengambil langkah disiplin yang sesuai terhadap pelaku.
Selain itu perlunya meningkatkan fungsi bidang-bidang yang ada, seperti Bimbingan Konseling, peran Wali Kelas, dan para guru yang lebih optimal lagi dalam memberikan pelayanan kepada para siswanya. Pendekatan dari hati ke hati melului metode coaching dapat memberikan kesadaran, target pencapaian, dan rasa optimisme bagi siswa.
Sektor kedua adalah Orang tua. Orang tua/Wali siswa dalam hal ini ruang lingkupnya adalah keluarga. Keluarga adalah bagian pertama, utama, terdekat dan terlama yang dirasakan bersama siswa. Keluarga memberikan pendidikan yang mendasar terhadap pembentukan karakter siswa. Disinilah seharusnya pengenalan karakter atau akhlak mulia ditanamkan, dipupuk hingga menjadi pembiasaan. Jika Orang tua/Wali siswa yang memiliki kesadaran akan pentingnya menanamkan akhlak yang baik, dan Orang tua/Wali siswa juga memposisikan sebagai contoh teladan yang baik, maka segala penyimpangan perilaku kekerasaan dapat tersaring sehingga anak tersebut akan dapat memetik perilaku yang positif bagi dirinya.
Sektor ke tiga adalah masyarakat. Masyarakat merupakan lingkungan sekunder atau kedua setelah lingkungan keluarga. Lingkungan yang dekat dari para siswa tinggal. Lingkungan dimana mereka mengenal teman-teman bermain. Lingkungan dimana mereka belajar akhlak dari teman-teman yang mendapatkan pengaruh dan didikan dari Orang tuanya dengan beragam pemahaman dan keilmuan yang akan dicontoh oleh anak-anak mereka. Jika memang pemahaman atau keilmuan dari Orang tua/Wali siswa temannya minim, sehingga berdampak pada rusaknya perilaku Orang tua/Wali siswa kepada anak-anaknya maka bersiaplah anak-anak kita akan mendapatkan pengaruh atau bahkan menjadi sasaran pelampisan atau korban darinya.
Sekolah tetap berupaya menjalin kerjasama yang baik dengan pihak masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat. Masyarakat dan tokoh masyarakat telah memiliki data atau informasi mengenai perilaku individu atau kelompok di masyarakatnya baik aktivitas positif atau negatif. Data tersebut dapat dipetakan dan dijadikan sumber informasi bagi sekolah bersama masyarakat dan tokoh masyarakat untuk mendapatkan arahan, pembinaan baik secara individu atau kelompok. Mereka akan mendapat pembinaan, pelatihan agar memiliki aktivitas positif. Pihak-pihak lain dapat bersinergi seperti aparat keamanan, organisasi profesi, KPAI, konselor, Bimas, Penyuluh agama, Dinas Sosial, Dinas Pemuda dan Olahraga, Dinas Ketenagakerjaan dan Dinas Kesehatan untuk bersama-sama membenahi moral perilaku anggota masyarakat dengan terprogram dan terencana. Sehingga bersama pemerintah, masyarakat, Orang tua dan sekolah dapat seiring sejalan berupaya membina penguatan perlaku positif bagi seluruh masyarakat dapat tercipta.
Ketiga sektor ini, sekolah, Orang tua/Wali siswa (keluarga), dan masyarakat hendaknya saling menguatkan, saling mengkontrol dan mengevaluasi akan peran perilaku siswa dengan nilai dan norma yang berlaku, sehingga akan terhindar dari tindak kekerasan. Melalui Permedikbud Ristek No.46 Tahun 2023 pemerintah telah meramu program pencegahan dan penanganan tindak kekerasan di sekolah yaitu dengan dibentuknya Tim Pencegah dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Tim akan bertugas melakukan upaya pencegahan dan penanganan tindak kekerasan yang dalam pelaksanaanya akan melakukan sosialisasi kepada seluruh warga sekolah, termasuk berkolaborasi dengan pihak-pihak lain seperti Orang tua/Wali siswa, juga penyandang disabilitas. Orang tua/Wali siswa adalah relasi penting dalam kegiatan upaya pencegahan dan penanganan tindak kekerasan di sekolah. Orang tua/Wali siswa akan diberi informasi mengenai langkah-langkah yang diambil oleh TPPK dalam upaya berkontribusi menciptakan sekolah aman dan ramah anak. Bagaimana menjalin hubungan yang hangat, harmonis, akrab bersama anak dan Orang tua. Selain itu TPPK akan menjalin kerjasama dengan pihak kepolisian, pekerja sosial, juga tokoh-tokoh masyarakat untuk dapat bersama-sama mewujudkan penyadaran akan tindak kekerasan yang harus dihilangkan, sehingga terwujud karakter siswa yang inkusif, berkebinekaan, dan aman bagi semua dapat terwujud, semoga.
Referensi:
Harian Pikiran Rakyat, Selasa, 10 Oktober 2023. Darurat Kekerasan Tingkatkan Perlindungan Anak!. Muhammad Ashari.