SOROT JABAR – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) kembali menjadi sorotan, terutama terkait pengaturan Asas Dominus Litis. Asas ini dianggap dapat merusak sistem hukum di Indonesia, di mana kewenangan Jaksa untuk menentukan kelanjutan atau penghentian perkara berpotensi menimbulkan masalah serius dalam penegakan hukum.
Rohimat, yang dikenal sebagai Kang Joker dan menjabat sebagai Ketua Umum DPP LSM PMPR Indonesia, menyampaikan pendapatnya mengenai isu ini. Ia menilai bahwa pengaturan ini menciptakan konsentrasi kekuasaan yang tidak seimbang di tangan Jaksa.
“Dengan Asas Dominus Litis, Jaksa berperan tidak hanya sebagai penuntut, tetapi juga sebagai pengambil keputusan awal dalam proses hukum. Ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang,” kata Kang Joker saat ditemui di Sekretariat DPP LSM PMPR Indonesia pada Minggu (9/2/2025).
Ia juga menekankan bahwa perlu adanya pemisahan yang jelas antara peran penyidik dan Jaksa dalam penegakan hukum. “Penyidik Polri seharusnya memiliki peran yang jelas dalam penyelidikan dan penyidikan, sementara Jaksa fokus pada penuntutan. Ketidakjelasan ini bisa mengakibatkan proses hukum yang tidak efisien,” jelasnya.
Lebih lanjut, Kang Joker memperingatkan bahwa kewenangan Jaksa untuk menghentikan perkara dapat menciptakan ketidakadilan dalam penegakan hukum. “Jika keputusan hukum terasa tidak konsisten, masyarakat berisiko kehilangan kepercayaan terhadap sistem peradilan,” ungkapnya.
Kekhawatiran lain yang diungkapkan Kang Joker adalah potensi adanya intervensi politik. “Pengaturan ini memungkinkan keputusan hukum dipengaruhi oleh kepentingan tertentu, yang dapat mengarah pada kriminalisasi terhadap individu atau kelompok tertentu,” tegasnya.
Kang Joker menambahkan bahwa upaya untuk meningkatkan efektivitas penyelidikan tidak seharusnya dilakukan dengan memberikan lebih banyak kewenangan kepada Jaksa, tetapi dengan meningkatkan kapasitas penyidik Polri. “RKUHAP seharusnya fokus pada kepastian hukum, proses yang cepat, dan biaya yang wajar, tanpa menciptakan interpretasi yang membingungkan,” tutupnya.
Dengan berbagai pandangan yang berkembang, penting bagi pembuat kebijakan untuk mengevaluasi kembali pengaturan dalam RKUHAP agar tidak merusak fondasi sistem hukum di Indonesia.
(Dadan Sambas)